APENSO INDONESIA

header ads

BELAJAR DARI SEJARAH

BELAJAR DARI SEJARAH


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)



   Belakangan muncul wacana bahwa pelajaran sejarah akan dikeluarkan dari kurikulum pendidikan dan hanya diposisikan sebagai pelajaran pilihan. Wacana ini menimbulkan reaksi keras dari para guru sejarah dan sebagian elit bangsa yang melihat pentingnya pendidikan sejarah bagi generasi muda. Meskipun kemudian Mendikbud Nadhim Makarim melakukan kalrifikasi, bahwa wacana tersebut tidak benar, dan menjamin bahwa sampai tahun 2021 tidak akan ada perubahan kurikulum, wacana tersebut perlu dicermati.

   Tentu wacana tersebut tidak muncul tanpa sebab, seperti pepatah tidak ada asap jika tidak ada api. Sering kali api tersebut tersembunyi tidak kelihatan tetapi asapnya mengepul, seperti kebakaran hutan di lahan gambut. Api tersebut tidak kelihatan, karena berada di dalam tanah. Tetapi api tersebut terus menyebar dan sulit dipadamkan.    

   Sejarah merupakan peristiwa masa lalu, yang bisa menimbulkan kebanggaan tetapi bisa juga menggelisahkan. Peristiwa-peristiwa tersebut ada yang tidak menyenang dan tidak dikehendaki. Tetapi ada juga peristiwa yang sangat menyenangkan dan dihendaki. Sehingga ada sejarah yang kelam dan ada sejarah yang gemilang. Bisa saja suatu peristiwa yang sama menimbulkan interprestasi yang berbeda tergantung dari posisi dan cara pandang mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

   Dalam sejarah politik, posisi dan cara pandang mereka yang terlibat seringkali menjadi sangat kontradiktif, karena berkaitan dengan perebutan kekuasaan, atau perjuangan untuk memperoleh kekuasaan. Antara mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan mereka yang merebut kekuasaan selalu bersifat kontrakdiktif. Misal, Pangeran Diponegoro bagi bangsa Indonesia adalah pejuang, karena membela rakyat atas tindakan sewenang-wenang penjajah. Tetapi bagi penjajah, Diponegoro dianggap sebagai pemberontak yang mengganggu pemerintahan.

   Dalam sejarah politik selalu diwarnai oleh konflik yang berkaitan dengan kekuasaan. Bahkan sejarah politik yang kratonsentris sekalipun akan selalu ada sisi buruk yang terjadi. Hal ini disebabkan ada perubahan (dinamika) dalam perjalanan waktu. Tidak ada sesuatu yang tetap sepanjang masa, tetapi akan selalu berubah dalam kurun waktu tertentu. Dalam suatu kerajaan juga selalu ada perubahan penguasa (raja), yang tentu akan menimbulkan perubahan kebijakan sesuai dengan keinginan penguasa baru. Kebijakan tersebut bisa membuat kemajuan rakyat, tetapi bisa juga menyengsarakan rakyat.

   Meskipun tidak semua orang baik, dan pernah melakukan kejahatan, tetapi tidak ada orang yang ingin memiliki sejarah buruk. Hitler sekalipun, tentu tidak ingin dikenang sebagai penjahat. Ia pun akan membuat sejarah dengan menulis hal-hal yang dianggap baik dan bermanfaat. Oleh karena itu, sejarah (history) sering kali dipelesetkan menjadi his story, cerita yang dikarang oleh pembuatnya. Meskipun sejarah tetap merupakan fakta yang tidak bisa diubah, tetapi cara pandang dan penulisannya bisa saja diubah.

   Sejarah politik di Indonesia juga tidak lepas dari suatu peristiwa yang menimbulkan tafsir kontradiktif bagi mereka yang terlibat. Sejarah politik menghasilkan pemenang dan yang kalah. Tentu tafsir atas peristiwa yang sama akan sangat berbeda. Bagi yang menang, peristiwa tersebut akan ditulis sebagai masa gemilang dengan kepahlawanannya. Dalam rangka mengokohkan kegemilangan dan kepahlawanan, harus ada yang dikalahlan dan dijadikan pencundang atau pengkianat. 

   Sejarah yang telah ditulis dan disebarluaskan akan mempengaruhi pandangan masyarakat. Masyarakat disuguhi cerita yang diklaim sebagai kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau. Seringkali penulisan sejarah juga dimaksudkan untuk menghegemoni masyarakat, terutama kepada generasi muda yang tidak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut secara langsung.

   Sering kali ada kelompok yang merasa tidak nyaman dengan sejarah yang sudah tertulis, karena merasa dirugikan oleh stigma buruk yang ada dalam tulisan tersebut. Stigma tersebut akan tertanam kepada generasi muda. Salah satu cara menghilangkan stigma tersebut adalah dengan mengganti tulisan atau menghentikan penyebarannya. Oleh karena itu, kemungkinan ada kelompok yang ingin menghapus tulisan yang ada dengan menghentikan peredarannya, termasuk menghilangkan pendidikan sejarah dari kurikulum nasional.

   Sejarah sebenarnya merupakan fakta yang terjadi di masa lampau yang tidak bisa dipungkiri. Namun penulisannya seringkali bersifat subyektif. Sangat sulit menulis sejarah yang obyektif, karena peristiwanya begitu komplek dan melibatkan banyak pihak. Peritiwa tersebut terkait satu dengan lainnya, sehingga memberi ruang interpretasi yang berbeda.   

   Selain berkaitan dengan suatu peristiwa, sejarah juga berkaitan dengan kausalitas waktu, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa depan. Apa yang terjadi pada masa kini akan menjadi masa lampu, tetapi sekaligus juga akan menentukan masa depan. Apa yang kita lakukan saat ini akan menentukan masa depan, dan akan menjadi masa lampu. Oleh karena itu, mengapa kita mempelajari sejarah karena ada pelajaran tentang kausalitas. 

   Kita bisa belajar tentang sebab akibat dari sejarah. Apa yang terjadi di masa lampu merupakan potret dari apa yang pernah kita lakukan. Dan apa yang kita lakukan saat ini secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap masa depan kita. Dari hubungan sebab akibat tersebut, kita bisa mengindari apa yang tidak diinginkan dan meniru apa yang diharapkan. 

   Tentu setiap orang ingin memiliki sejarah yang baik. Oleh karena itu, kita harus selalu memikirkan apa akibat dari tindakan yang akan kita lakukan. Karena apapun yang kita lakukan saat ini akan tercatat dalam sejarah hidup kita. Dan apa yang kita lakukan saat ini mempengaruhi masa depan kita. 

   Tampaknya pepatah nilai setitik merusak susu sebelanga, harus kita jadikan pelajaran dalam kehidupan kita. Meskipun hanya sedikit perbuatan buruk yang merugikan orang lain, yang pernah kita lakukan bisa merusak semua kebaikan yang telah kita lakukan. Paling tidak, hal yang buruk tersebut memberi peluang kepada siapapun untuk menulis sejarah buruk kita. Semoga kita bisa belajar dari sejarah.

Surabaya, 27 September 2020
Belajar dari sejarah






Posting Komentar

0 Komentar