APENSO INDONESIA

header ads

PANGGILAN "GUS" NAIK KELAS

PANGGILAN "GUS" NAIK KELAS

Oleh: Gempur Santoso

(Dosen Umaha Sidoarjo)


Kata guk atau gus, itu lumrah dan umum. Dulu, saat saya kecil. Masa bermain, di salah satu desa  di Kediri perbatasan wilayah Jombang. Saya memanggil seusia lebih tua sepermainan (konco dolan) adalah guk atau gus. Semua begitu.

Biasa terjadi dalam saudara sekeluarga pun memanggil gus atau guk. Untuk panggilan saudara laki - laki yang lebih tua.

Panggilan guk atau gus untuk laki - laki lebih tua. Sudah lumrah bagi masyarakat bawah (ndeso kesa keso= orang desa pedalaman).

"Gukmu nang endi"  artinya kakak laki - lakimu kemana. Ada pula misal "Yadi itu gusnya Eno" artinya Yadi Kakak dari Eno.

Tak jarang pula memanggil dengan "wadanan" (bukan nama asli, cenderung nama karakter). Misal teman saya, nama asli Sutrisno, saya dan teman lain memanggil beliau "ngganden". Mengapa begitu? Sebab Sutrisno teman saya itu memiliki kepala belakang lebih menonjol (ganden/ngganden). Bukan Sutrisno yang lain. Dan, macam - macam yang lain.

Jadi guk, gus, itu sama dengan mas ataupun cacak, juga kang. Panggilan "kang" atau "kakang" biasanya untuk laki - laki dewasa lebih tua. 

Kalau "kakak" biasannya panggilan yang lebih tua untuk laki - laki atau perempuan. Biasanya anggota Pramuka, memanggil "kakak" untuk yang lebih tua.

Panggilan ke perempuan lebih tua segenerasi adalah "yu". Kata yu itu sama dengan mbakyu atau yuk.

Saat itu. Panggilan ke yang lebih muda segenerasi, tidak ada. Cukup dipanggil nama yang bersangkutan. Kadang ada yang memanggil menggunakan "dik",  itu sangat jarang - tertentu.

Walau di tempat lain pun ada yang memanggil "ning" untuk perempuan lebih tua. Dan, panggilan "jeng" untuk yang usia dibawahnya, perempuan. Bagi kami, dulu, "ning", "jeng" itu panggilan perempuan bagi piyayi atau ningkrat.

Saat saya kecil. Sangat terasa dekotomi panggilan. Untuk rakyat jelata kelas bawah dengan rakyat piyayi atau ningkrat kelas menengah/atas, berbeda panggilannya.

Tidak tahu siapa yang membuat panggilan orang, dibedakan kelas. Tapi pada dasarnya, saat itu, memanggil sesama manusia "tidak ngoko atau njangkar". Arti ngoko/njangkar adalah tanpa  pakai "panggilan" dan langsung panggil nama orangnya.

Saat ini. Terjadi perubahan. Justru "gus" menjadi berkelas, keturunan "kyai" - pesantren. 

Sementara  di "ndeso kesa keso" relatif tetap dan ada yang terkikis.

Malah terjadi panggilan ngoko/jangkar. Bahkan memanggil orang memiliki jabatan misal presiden atau menteri dan lain - lain eletis pun ngoko/jangkar. Dipanggil namanya saja.

Pada zaman pilsung (pemilu langsung). Semakin menjadi nama singkatan. Nama akronim. Misal: sby panggilan dari tuan Susilo Bambang Yudoyano. Jk panggilan tuan Jusuf Kala. Jokowi panggilan dari tuan Joko Widodo. Dan lain - lain.

Kita sadari bahwa perubahan pasti terjadi. Termasuk panggilan nama. Yang tak pernah berubah hanyalah perubahan itu, selalu terjadi. 

Yang lebih penting: saling menghormati sesama. Saling merasa terhormat dan bahagia. Tuhan saja "mencipta makhluk manusia paling sempurna". Menghormati ciptaan Yang Maha Pencipta, itu mulia. 

Kalau lebih merasa menghormati memanggil dengan "panggilan", mengapa harus jangkar/ngoko

Toh dengan memberi "panggilan", saat memanggil orang lain akan merasa lebih senang. Yang memanggil dengan tidak ngoko/jangkar pun tak rugi apa - apa. Mengapa tak dilakukan. Itu budaya. Kita tahu, budaya menunjukan bangsa.

Menghormati orang lain itu baik. Menyenangkan. Yang tidak baik adalah minta dihormati - "kranjingan hormat".

Semoga kita sehat selalu...aamiin yra.

(GeSa)




Posting Komentar

0 Komentar