APENSO INDONESIA

header ads

AYO MEMBOLOS !

AYO MEMBOLOS !


Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts



Beberapa waktu lalu seorang tokoh Taman Siswa Ki Darmaningtyas mengatakan bahwa saat ini kita dipimpin Menteri Pendidikan terburuk sepanjang sejarah Indonesia modern. Setelah meluncurkan serangkaian kebijakan kontroversial, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Nadiem Makarim berhasil mencatatkan capaian akademik perguruan tinggi terendah selama 2 tahun terakhir ini sebagaimana dicatat Mikrajuddin Abdullah. Kebijakan Nadiem yang berhasil mengojolkan ribuan pemuda merupakan puncak proses penjongosan bangsa ini sejak Orde Baru. Banyak yang tidak menyadari bahwa penggantian UUD45 menjadi UUD2002 sejak reformasi telah menutup sama sekali pintu gerbang kemerdekaan bangsa ini. 

Sistem persekolahan massal paksa sejak Orde Baru adalah instrumen teknokratik paling efektif dalam mengubah bangsa ini menjadi bangsa buruh, jika bukan jongos. Misi tunggal sekolah adalah menyiapkan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan investor asing. Terbukti kemudian bahwa investasi asing adalah proxy war nekolimik yang pernah dikhawatirkan Bung Karno bahwa bangsa ini akan menjadi kuli bagi bangsa lain. Keputusan Menteri ATR/KaBPN yang memberi HGU 160 tahun bagi investor IKN adalah maladministrasi publik mutakhir setelah UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagi instrumen penjongosan bangsa ini.

Persekolahan, dan juga kampus, diam-diam juga menjalankan proses depolitisasi. Mahasiswa yang suka demo sering di-bully sebagai mahasiswa gagal. Template kebanyakan mahasiswa saat ini adalah lulus cepat dengan IPK tinggi, lalu memburuh di BUMN atau MNC dengan gaji tinggi. Sebagai instrumen depolitisasi, persekolahan pula yang memberi pijakan budaya bagi pelemahan kesadaran politik masyarakat sipil. Masyarakat selalu dibujuk untuk mau hadir di bilik-bilik suara Pemilu lalu menyerahkan hak-hak politiknya pada partai-partai politik. Pemilu itu disebut-sebut sebagai pesta demokrasi, padahal seperti lontong sayur, demokrasi itu hilang segera setelah hajatan Pemilu usai. Yang tersisa kemudian adalah kepiluan massal berkepanjangan. 

Pendidikan pada dasarnya adalah platform untuk belajar, bukan untuk bersekolah, apalagi di era digital ini. Setiap warga harus diberi kesempatan belajar, atau berguru. Sekolah hanya menambahi dan melengkapi saja. Tujuan utama belajar seperti yang diwasiyatkan Ki Hadjar Dewantara adalah untuk membangun jiwa merdeka sebagai prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Kebijakan Merdeka Belajar baru-baru ini dirusak oleh intervensi Mendikbudristek sendiri melalui pengaturan seragam sekolah bagi warga muda yang sesungguhnya sedang belajar merdeka. 
 
Untuk itu, seperti nasehat Amartya Sen, pembangunan seharusnya dirumuskan kembali sebagai upaya memperluas kemerdekaan, bukan sekedar untuk memperbanyak buruh yang makin rakus mengkonsumsi listrik, bensin dan beton. Banyak sekolah saat ini hanya menjadi tempat guru mengajar, bukan tempat warga muda belajar merdeka. Banyak sekolah hanya menjadi bagian birokrasi lamban yang tidak pernah menghendaki perubahan. Watak dasar birokrasi yang ramah pada keteraturan dan kemapanan, sering menghambat perubahan, padahal perubahan adalah tuntutan kemerdekaan. Oleh karena itu, jika bangsa ini sungguh-sungguh menghendaki continuity and change, maka teriakan merdeka perlu segera dibuktikan pertama kali dengan bolos sekolah. 

Yogyakarta, 10 Oktober 2022.







Posting Komentar

0 Komentar